Jumat, 15 April 2011

Kereta Api Kelas Ekonomi

Alat transportasi yang paling murah sehingga digemari. Bagaimana dengan fasilitasnya? Silakan coba dan rasakan sendiri sensasi dasyatnya!

Ini cerita saat pulang kerja. Seperti biasa, kami tak naik KRL, tapi naik (yang biasa disebut) kereta patas, kereta diesel kelas ekonomi, karena sesuai dengan jam pulang kerja. Kalau harus nunggu KRL (tentu yang kelas ekonomi juga), bisa-bisa sampai jenggot lumutan nunggunya. Bukankah lebih cepat itu lebih baik? Bukankah lebih baik kalau lebih cepat? Kalau lebih cepat bukannya lebih baik? Kalau.. Ah, sudahlah..

Dengan seorang teman yang selalu setia menyediakan tempat duduk untuk kami (ber-enam). Kita panggil saja dia dengan nama Mas J. Tidak etis kalau sebut namanya Mas Joko, itu kan melanggar privasi orang. Iya, kan? Ups! Hampir tiap hari kami selalu duduk di kursi yang sama, kursi no. 11 dan 12. Dia menjaganya dengan gagah berani. Berbekal samurai warisan ninja Hatori ditangan kiri dan diletakkan di atas paha, 1 buah teh gelas yang kadang tanpa sedotan di tangan kanan, kaki selonjoran ke deretan kursi depan, dan senjata yang paling ampuh, tentu saja adalah tidur. Karena tanggung jawab menjaga kursi, dia tidur smbil melotot. Nah, lo!! Benar saja! Keadaan sedemikian rupa itu membuat benteng pertahanan yang kokoh dan dengan sukses membuat kursi dalam keadaan aman, sentosa dan damai, sejahtera.




Saat saya dan saudara saya datang, dia selalu bilang “Kok lama banget sih! Udah capek nih! Saya udah ngeluarin jurus sampe level ke-98 buat jaga kursi ini!” Dan kita jawab “ Gak apa-apa mas, biar makin jago.” Dia makin manyun. “Ya, udah. Aku tidur dulu.” Lanjut dia. Dia memang selalu tidur saat di kereta, kecuali kalau ada cewek yang ikut nebeng di kursi kita. Kenapa dan ngapain dia gak tidur? Jangan tanya!!

Kami berangkat dari stasiun awal cuma berlima, kecuali kalo ada 2 orang cewek (baca : ibu-ibu) yang telah lebih dulu jadi member sebelum saya. Tapi mereka jarang ikut karena telat, tempat kerja yang agak jauh menjadi tersangka utama. 1 anggota lagi naik dari 2 stasiun setelah kereta berangkat. Tugas saya mengamankan kursinya. Orang boleh duduk di tempat kita kalau semua anggota sudah lengkap (belagu ya, kayak yang punya kereta aja!). Dan samurai ninja Hatori-pun resmi berpindah tangan. Kadang saya harus bertarung dengan bapak-bapak berkumis tebal atau ibu-ibu dengan lapisan lemak tebal (banget!!), kadang juga harus berhadapan dengan mas-mas berbedak tebal. Ampyuun, cyiiinn!!

Pernah suatu hari ada seorang cewek (baca : ibu-ibu) mau duduk di tempat kami, terpaksa kami harus menolaknya. Dengan muka kesal sekesal-kesalnya dia pergi ke kursi seberang dan kebetulan dapat tempat duduk disana. Begitu dia duduk, dia segera melancarkan serangan dengan kata-kata makian. Beuh!! Pengen banget narik samurai dari sarungnya! Makin lama omongan dia semakin gak enak. Kesabaran sayapun habis. Saat samurai mau saja cabut, tangan saya di hentikan oleh Mas J. Dengan menggenggam tangan saya, tenang matanya bicara “Jangan, bersabarlah. Jangan kau kotori samurai itu.” Karena si bos yang bicara, saya harus nurut dong. Seketika dengan mata yang saya paksain tenang. Mata saya bicara “Baiklah, kakak pertama. Aku akan menahan rasa sakit ini sendirian. Akan kubawa ke bantar gebang dan kukubur bersama pembalut bekas.” Dan pertumpahan darahpun batal. Damn!!

Kalau kejadian ini sekitar akhir Januari lalu. Saat formasi sudah lengkap kami bersedia berbagi kursi. Berharap ada cewek mau duduk di sebelah. Tapi kadang harapan hanyalah harapan. Kali ini seorang bapak dengan ukuran xxl menitipkan sebelah pantanya di sebelah saya. Nasib..

Setengah perjalanan, kereta berhenti agak lama di suatu stasiun. Ada kabar dari seorang petugas dari PT. KAI bahwa kereta didepan kami dilempari batu. Seorang cewek (baca : ibu-ibu) penjual darling (dadar guling) yang berpengalaman lebih dari 6 jam membenarkan kabar itu. Pelaku masih belum jelas. Mereka banyak sekali. Kaca jendela kereta banyak yang pecah, bahkan ada yang kepalanya terluka cukup parah.

Kabar itu membuat Mas J agak gelisah, dia menggeliat seperti baru bangun tidur (emang dia baru bangun tidur). Dan itu menular kepada kami. Keringat begitu deras mengalahkan air terjun Niagara.

Sesuai dengan kabar itu. Saat kami berada di tempat yang dimaksud, rentetan suara gaduh mulai terdengar. Kami diserang. Sudah seperti di medan perang saja. Mulai dari tembakan senapan, meriam sampai bom dari pesawat F-16 menyerbu sisi kiri gerbong. Kami semakin panik, Mas J terlihat begitu pucat, wajahnya tampak putih, mengalahkan wajah model iklan ponds dan selama sesaat membuat hati saya tergetar. Apakah ini cinta? Oh, no!

Suasana panik menikam seisi gerbong. Ibu penjual darling berteriak histeris seperti minta diperkosa. Apa-apaan dia? Penghuni deretan kursi sebelah saling berpelukan, salah satu pingsan setelah kebanyakan menghirup aroma keringat pasangannya. Ada juga yang langsung masuk kolong kursi. Di situ saya berdoa, semoga saja yang di duduk diatasnya ketakutan terus pipis terus ngasih minum itu orang. Anggota kursi 12 yang lain tak begitu panik, mereka hanya melindungi kepala dengan tas masing-masing. Sebagai seorang yang perkasa dan tidak punya hutang, saya santai saja. Melihat dari balik kaca, benar saja, banyak orang melempari gerbong dengan batu. Dari orang tua sampai anak-anak kompak berlomba-lomba menghancurkan kereta. Mereka tampak bersemangat. Apa mereka akan dapat hadiah kalau bisa menggulingkan kereta? Seperti paket jalan-jalan ke Bali, atau salaman sama patung pacoran, atau bahkan dapat tisu toilet bekas. Ah, siapa yang tahu!!

Beberapa kaca jendela pecah. Bahkan ada penumpang yang kepalanya berdarah. Tidak tahu juga, sih, kenapa. Mungkin karena kena satu atau beberapa lemparan batu itu. Mungkin juga karena orang yang duduk di sebelahnya adalah vampir yang menyamar, terus waktu mau gigit leher, dia meleset, kena deh itu kepala. Bocor, deh. Kalau yang di dalam gerbong aja ada yang kepalanya bocor, apa kabar yang di atas kereta? Mereka jadi korban peristiwa biadab ini. Kesian. Kesian. Kesian.

Medan laga telah berlalu, kereta berhenti di stasiun berikutnya, cukup lama, karena ada kabar bahwa di depan masih ada pelemparan batu juga. Tapi bukan di Mekah seperti pada saat Haji, loh, ya.

Dari balik kaca jendela yang bertahan, saya melihat beberapa orang turun dari atap kereta. Ada yang memegangi kepala, pundak, lutut, kaki, kepala, pundak, lutut, kaki, kepala, pundak, lutut, kaki (capek), perut dan bawahnya. Ada darah dimana-mana. Mengalir di pelipis, dagu, hingga paha (habis ngapain tuh?). Para manusia perkasa itu hanya mengumpat tak karuan, berjalan menuju peron. Ah, tantangan lain, seperti hari-hari sebelumnya dan esok nanti. Belagu ya?!

Setelah mununggu jam dinding yang tidak mau bicara seperti di lagu jaman dulu. Eh, emang di kereta ada jam dinding? Ah, gak jelas. Kami mulai membahas kejadian yang baru saja berlalu itu. Titik cerah mulai terlihat. Dari investigasi para ahli dadakan ini, muncul sebuah teori yang cukup kuat. Pelaku pelemparan adalah orang-orang yang tinggal di sekitar rel kereta api. Mereka melakukan pelemparan batu karena dendam. Mereka pikir itu adalah kereta yang menuju ke daerah jawa timur. Mereka kira kami adalah bonek, mungkin karena banyak orang yang naik di atap kereta. Padahal itu sangat tidak relevan. Memang beberapa hari sebelumnya terjadi bentrok antar suporter sepak bola. Salah satunya adalah bonek. Dan kejadian itu telah memakan korban. Kami berasumsi, itulah yang menyebabkan kemarahan warga. Ok, no comment.

Kami ber-enam turun di 2 stasiun yang berbeda, masing-masing 3 orang. Saya termasuk orang yang turun di stasiun lebih awal. Nah, salah satu orang yang turun bareng sama saya semakin gelisah saja. Kereta yang entah berapa jam lagi berangkatnya dan kabar pertempuran lain di depan sana menjadi penyebab utama gundah gulananya. Bulan makin tinggi, para bencong sudah memompa dada mereka dan bersiap bersaing dengan wanita sesungguhnya (jangan tersinggung). Pokoknya udah malam. Setelah sekian lama, dia mulai bersuara, agak bergetar. “Kita turun, yuk. Naik bus aja.” Semua diam. Lalu dia lanjutin soal malam udah larut, mau sampai rumah jam berapa dan alasan lain (selain takut di depan ada perang lagi). Karena solidaritas yang lebih tinggi dari gunung Himalaya, kami berdua menemaninya turun. Mas J dan 2 orang lain tak ikut turun karena alasan susahnya dapat kendaraan umum pada malam hari menuju tempat mereka. Ok, dengan uraian air mata, diiringi pembacaan puisi dan dituntaskan dengan do’a bersama, kami berpisah.

Perjalanan selanjutnya biasa saja. Selain tidak ada cewek (baca : semua orang) yang mau mendekat gara-gara kami bau keringat dan dekil. Mungkin kalau saja pakain kami robek, kami akan pulang dengan lebih kaya.

Dan, akhirnya sampai juga di rumah dengan utuh. Ekstra perjalanan 3 jam yang tanpa direncanakan sudah cukup melelahkan. Entah bagaimana dengan nasib 3 orang teman kami itu. Saat itu juga saya berdoa semoga mereka pulang dengan selamat dan berat badan Mas J turun karena 5 jam dalam kondisi tegang bermandi keringat. Amin!!

2 hari kemudian kami bertemu di kursi kereta yang sama. Kaca yang pecah sudah diganti. Disana Mas J dkk cerita kalau setelah stasiun itu tak terjadi pelemparan lagi. Perjalanan lancar dan bahkan dia sampai di stasiun lebih cepat dari saya. Huh! Kampretos!!

Saya tak pandai membuat pesan moral. Mohon ambil sendiri pesannya (pasti bakalan bingung, orang gak ada pesan apa-apa). Jadi saya hanya mau bilang, jangan buang sampah sembarangan, cuci tangan sebelum makan dan hormatlah kepada orang tua. Thanks!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar