Jumat, 29 Oktober 2010

Surat Untuk Bukune

Sekitar 2 bulan lalu saya nitip teman untuk dibelikan buku yang berjudul cado-cado kuadrat karya dokter riva. Setelah buku itu saya terima dan baca, ternyata ada beberapa halaman yang tidak tercetak. Sayapun panik, menjerit tiap malam diatas pohon tanpa menemukan jalan keluar. Kemudian saya mendapat wangsit dari seorang kakek berjenggot panjang putih, berambut putih, gondrong shaggy dan bertato angka 14045 dijidat (bohong).

Saya memutuskan untuk mengirim buku tersebut ke redaksi bukune. Tak ada kabar setelah 1 bulan. Saya mencoba untuk menanyakan melalui akun twitter redaksi bukune. Setelah mereka cek, ternyata mereka kesulitan dengan alamat rumah saya yang tak memiliki nomor rumah. Mereka menelpon saya untuk konfirmasi alamat.

Beberapa hari kemudian (yang dibilang) buku pengganti datang. Setelah saya buka-buka, ternyata buku tersebut sangat persis dengan buku yang saya kirim. Sayapun panik lagi, mau panjat pohon takut dibilang tidak kreatif. Kali ini saya putuskan untuk panjat rumah (sekalian benerin genting). Saya tanyakan lewat twitter lagi dan mereka meminta untuk dikirim lagi.

Agar kejadian tersebut tidak terulang, saya mengirimkan buku tersebut dengan surat, ini dia :



Hal : Pengembalian Buku Rusak


Kepada Yth,
Redaksi Bukune
Di Tempat

Dengan hormat,

Agar tidak terjadi kesalahpahaman atau bahkan bisa menjadi dusta diantara kita, maka pada pengiriman kedua ini saya bubuhkan keterangan mengenai halaman yang saya maksud. Mohon dalam buku cado-cado kuadrat ini dibuka halaman 54, 55, 58, 59, 62, 63,66, 67, 70, 71,74, 75, 78, 79, 82 dan 83. Pada halaman-halaman tersebut tidak ada tulisan apapun, bahkan nomor halaman.

Saya juga melihat halaman-halaman tersebut memakai luv, tak ada titikpun disana. Malahan sampai hampir terbakar dan mengeluarkan asap. Karena saya belum memikirkan permohonan kepada sesosok makhluk yang nanti kemungkinan besar akan muncul dari asap itu, saya buru-buru membuang luv tersebut.

Membaca buku ini serasa makan pizza. Terbagi menjadi beberapa potongan. Ada yang bisa dimakan 1 potongan penuh. Ada yang saat baru digigit sepotong, tiba-tiba hilang, naggung banget. Meninggalkan rasa penasaran yang dalam, sedalam sungai bengawan solo.

Sekian dulu. Terima kasih atas perhatiannya, anda perhatian sekali, saya jadi ge-er. Saya mohon maaf karena sudah merepotkan. Tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin membuktikan kesungguhan tulisan yang ada pada halaman terakhir buku-buku terbitan Bukune. Mohon maaf juga karena kalimat-kalimatnya ngelantur dan kata-katanya berantakan. Sekali lagi, terima kasih banyak.

Keep hamasah!



Cepu, 28 Oktober 2010




Mustakim







Ya, semoga saja penggantian buku selanjutnya sesuai dan mereka tidak tersinggung dengan surat saya.

Senin, 11 Oktober 2010

THIS IS (NOT) MY WAR, THIS IS MY TEAR

Seperti biasa, malam itu kami berkumpul dirumah Budi. 4 anak muda kelas 1 SMA gagah perkasa, sakti mandraguna, tidak suka wanita (kecuali saya). Tidak ada hal penting, kami hanya ngobrol-ngobrol saja, kadang main catur, lompat galah dan kalau situasi mendukung, bakar rumah jadi hal terbaik. Kami biasa ngobrol tentang apa saja, mulai dari hal tidak penting seperti “apa warna celana dalam favorit kamu?” sampai hal serumit “politik”. Bahkan tentang hal yang paling rumit yaitu “Cinta” *sigh! Tapi disini otak saya masih terlalu cetek untuk bercerita tentang hal serumit itu.

Berawal dari panggilan seorang pengawal Raja Fir’aun didepan rumah Budi. Kamipun keluar. “yo, man! Pada ngapain dirumah? Ayo ikut kita-kita, pada mau nonton dangdutan nih!” Yup! Malam itu ada pagelaran musik dangdut, dalam rangka nikahan anak orang kaya dikampung sebelah. Pemuda kampung kami suka sekali nonton yang seprti itu, apalagi kalau yang nyanyi gadis muda belia dengan pakain seketatnya dan bergoyang seolah dibawah panggung itu ada minyak bumi. “Drill to the max!!”

Kamipun memutuskan untuk pergi, kecuali Yanto, dia tak ikut. Katanya dia harus menghadiri pertemuan dengan para calon dukun lainnya. Yak!! Pak Hakim telah memutuskan kami bertiga berangkat menuju medan laga tanpanya. bersenjatakan parang, pisau bedah, pensil 2B, gergaji mesin dan 2 lusin celana dalam, kami siap menaklukkan dunia perdangdutan. Walaupun sebenarnya saya sama sekali tidak tertarik dengan dangdut.

Singkat cerita, kami sudah berada dalam suasana riuh acara dangdut. Bermacam-macam manusia dengan berbagai rupa ada disana. Mulai dari yang duduk-duduk dibawah tenda dengan kantong berisi amplop kosong hingga karung pupuk 50 kg, sampai yang berjajar didepan panggung dengan formasi “V” (gak tahu mau ngapain). Dan kami tentu saja menemui teman-teman yang sudah lebih dulu sampai, kebetulan mereka sedang berkumpul dibelakang panggung yang tingginya 300 meter. Ngapain mereka disana? Ya, tentu saja ingin lihat persiapan artis-artisnya sebelum manggung, mulai memakai bedak hingga bertukar jenis kelamin. Karena 2 teman saya yang memang tidak normal, mereka malah ngajak berkeliling dulu sebelum panggung bergoyang. Dengan liur menetes tak karuan, saya diseret Budi dan Ririn menggunakan rantai kapal. Seketika kita sudah ada didepan tukang lontong sayur.

Tak lama kemudian penyanyi sudah bergoyang diatas panggung dengan suara merdunya. Tak lupa juga berteriak, mengajak ngobrol penonton agar suasana makin panas. Dengan 2 jempol diatas kepala lalu dua-dua dimasukkan mulut, Budi mulai bergoyang mendekati panggung, diikuti Ririn dan tentu saja saya dengan setengah hati. Ternyata tujuan mereka adalah bawah panggung! Mau ngapain? Oh, tidak!! (Oh, yes!!)

Saya hanya duduk dikursi tamu yang sudah mulai sepi, sambil menikmati lagu-lagu yang saya tidak tahu judulnya dengan diiringi tarian ala mas-mas super kesepian. Tiba-tiba suara teriakan mengaduh terdengar dari arah samping panggung. Penasaran, saya langsung menuju kesana. Disana saya melihat Budi, Ririn dan teman-teman lain bergerombol membentuk lingkaran. Sayapun mendekat. Rupanya ditengah gerombolan itu sedang meringkuk anak manusia. Wah, seperti yang sudah diperkirakan. Setiap ada acara seperti ini, pasti akan terjadi tragedi berdarah. Disana sedang tidur santai seorang lelaki bernapas alkohol sambil diinjak-injak salah seorang teman kami. Dengan brutal dia memukuli orang itu, yang dilanjutkan dengan menginjaknya. “Mampus lo!!” Mampus lo!!”. Diikuti teman yang lain. Banyak sekali, seolah-olah mereka sedang berlomba (sempat terpikir oleh saya untuk mengambil pom-pom dan menyamangati mereka, tapi tak jadi, tak ada pom-pom disana). “Udah pernah nginjek muka orang?” Tanya Budi. Saya menggeleng. “Cobain yuk!” lanjut dia. Dan Ririnpun menyanggupi “Yuk!!”. Budi yang berada paling dekatpun segara melayangkan kaki kearah punggung orang itu. “Mampus lo!!” beberapa kali. Dan dia udah keringatan gak karuan. Menyusul dari belakang, seseorang dengan pulukan tak karuan, membabi buta. Bisa dipastikan beberapa pukulannya juga mengenai kemaluan orang itu (semoga tak pecah). Ririnpun mendekat, tapi sebelum dia berhasil melaksanakan tugas mulianya, tangan dia sudah saya tarik sehingga tendangannya tidak sampai mengenai orang itu, lagian bacah ini kan pendek, paling juga kakinya gak bakalan nyampe. “Kok ditahan sih? Belum dapet nih!!” Dia nyolot. “Eh, gak kasian apa? Udah mampus kali tuh orang. Udah tinggalin aja”
Kata saya. Bukan apa-apa, gak kenal juga sih sama tuh orang. Mau mati juga bodo amat. Saya cuma kasihan aja sama Ririn nanti. Dia kan gak biasa bicara kasar. Gak lucu kan kalau nginjek-nginjek orang sambil bilang “Meninggal kamu!! Meninggal kamu!!” bukan pada tempatnya. Apa kata dunia nanti??

Orang itu sudah tergeletak tak berdaya saat teman-temannya memapahnya untuk pulang. Rupanya dia anak kampung sebelah yang memang suka bikin ribut.

Setelah kejadian yang tidak diinginkan itu, tuan rumah segera bertindak. Acara dangdut itu terpaksa harus diakhiri lebih dini. Katanya, takut kalau meluas dan menggangu mereka.

Teman-teman masih berkumpul disamping panggung. Mereka main tebak-tebakan, apakah si korban akan membalas? Dan apabila itu terjadi, apa yang akan mereka lakukan? Dengan persiapan seadanya, tanpa ganti celana dalam yang kami bawa tadi, kami memutuskan untuk pulang bersama. Para jagoan kampung berjalan didepan dan kami bertiga tertinggal 03:648 detik dibelakang.

Ya, benar saja. Diujung gang menuju jalan raya, sekelompok manusia bersenjata tajam sudah menunggu rombongan kami. Busyet!! 1 truk kepala. “Wah, kabar tadi cepat tersebar ya, itu orang-orang udah pada kumpul minta tanda tanganku.” Kata budi. Seketika Ririn mengeluarkan parang dan memotong leher Budi. Ngaco nih anak. Melihat itu, orang yang didepan rombongan langsung memberi insrtuksi “Ambil batu semua, kalo udah dekat langsung lempar!” Suasana gelap membuat kami tidak bisa membedakan batu. Dan sial itu menjadi milik saya. Ketika meraba-raba mencari batu dipinggir jalan malahan menemukan sesuatu yang lembek. Tai kuda!!! Beuh!!! Terlalu!! Sial!!!
Rombongan kami semakin dekat. Waduh, bakal beneran ribut antar kampung nih! Kami cukup panik ketika dalam gelap rombongan lawan berlari kearah kami. “Lempar!!!” teriakan itu terdengar. Tiba-tiba terdengar teriakan lain, merdu, mengaduh tak karuan “Aduh!! Aduh!! Aduh!!” Saya kenal suara itu, itu suara Usrok, dia juga banyak menyumbang pukulan pada orang calon impoten tadi. Mendengar suara itu, rombongan langsung berhamburan. Panik, dengan tangan berlumuran tai kuda, saya mengambil batu seadanya dan segera saya lemparkan kedepan secara asal. Lalu saya ikut lari masuk kampung menuju sela-sela rumah untuk sembunyi bersama teman-teman lain.

Saya berada dibelakang rumah salah satu warga dan kebetulan menemukan kamar mandi disana. “Wuaduh!! Wuaduh!!” Suara Usrok yang semakin keras dan membuat saya semakin panik. Saat saya mau cuci tangan saya dikagetkan dengan seorang yang lari sambil bilang “Mereka ngejar sampe sini! Ayo cepet sembunyi!!” Karena panik, sayapun jatuh terpeleset dikamar mandi itu. Senyum kecut dia bilang “Ngapain lo?” Saya bangun dengan kebasahan. Sial lagi! Dan dia ngacir entah kemana.

Ok, kebetulan saya tahu jalan pintas disana. Saya menemukan tempat aman. Sambil mengawasi jalan raya, saya mencari 2 teman saya yang entah masih hidup atau tidak. Tapi saya tidak terlau khawatir, Ririn sudah membawa gergaji listrik, semoga saja dia menemukan stop kontak untuk daya mesin itu. Dan untuk Budi, melihat suasana ramai seperti itu, paling dia jualan celana dalam sisa yang kami bawa tadi.

Keaadaan menjadi tenang. Saya melihat beberapa orang berkumpul didepan rumah, dipinggir jalan raya. Rupanya perang telah usai. Saya segera mendekati orang-orang itu. Terlihat bercak merah diseluruh jalan, mengubah warna aspal menjadi biru, seperti langit (???). Disana sedang kesakitan salah seorang jagoan kampung. Hidungnya bengkok, sepertinya tulang hidungnya patah. Dia sedang minta tolong temannya untuk menarik hidungnya dari arah berlawanan. Dan sedang tiduran, si Usrok. Dia terus memegang kepalanya, ada sedikit darah dipelipisnya. “Sial! Mereka bawa hansip, pentungannya nyasar nih dikepala.” Kata Usrok. “Apaan?? Tadi saya mau disambit pake pedang!” kata orang yang narikin hidung. “Mereka memng sengaja cari gara-gara. Mereka udah pada siap berantem mulai dari tadi pagi. Buktinya, waktu saya tonjok salah satu dari mereka, ada bekas sereal dipinggir bibirnya yang nempel ditangan saya. Itu menunjukkan kalau mereka sarapannya buru-buru buat ngasah tuh pedang.” Kata yang hidungnya bengkok. Teman yang lainpun berdatangan. Diikuti ibu-ibu dan warga sekitar.

Malam semakin larut. Kata salah satu dari mereka, 2 manusia tanpa rupa yang bareng saya tadi sudah pulang duluan. Sayapun langsung pulang. Saatnya beristirahat.

Seminggu kemudian, saya mendapat undangan untuk berkumpul di mushola. Ternyata seminggu lagi akan ada pengajian akbar disana. Para pemuda berkumpul untuk pembentukan panitia dan pembagian tugas lainnya. Setelah semua beres dan disetujui, saatnya makan suguhan. Pak kyai yang memimpin acara tersebut ingin mencairkan suasana. Diapun bertanya, “Minggu lalu katanya anak sini ada yang mati ya, gara-gara tawuran di acara dandutan?”. Iya, teman-temanpun mulai bercerita tentang kisahnya masing-masing. “Saya langsung pulang sama Ririn” Kata Budi. Tiba giliran Yoyok, orang yang ketemu saya sambil cengar-cengir dikamar mandi malam itu. “Nih, dia (nunjuk saya) nih, saking takutnya sampe jatuh-jatuh dikamar mandi orang, celana sama bajunya basah semua. Gak tahu deh tuh kenapa, ngakunya sih kepleset, tapi kayaknya dia ngompol deh!” ”Hahahaha” Yang lain pada ketawa. (ente kira air mancur, ngompol bisa sampe kena baju! Beuh!!). “Lha kamu ngapain Yok sampe rumah langsung keramas?” Celetuk seorang teman. Yoyok diam saja. “Emang kenapa?” Tanya teman yang lain. “Begini nih.” Seorang teman tadi melanjutkan. “Waktu gerombolan mereka menyerbu, dia kan langsung lempar batu. Tapi dia gak lari, katanya pengen nonjok orang. Begitu tahu ada yang bawa pedang, ciut deh dia, terus mau kabur. Pas dia mau lari ada yang nimpuk dia dari belakang, dia cuek, tetep lari aja katanya. Waktu sembunyi kan ketemu sama saya tuh, saya dibelakang dia kok cium bau gak gitu ya. “Aduh, habis kena timpuk!” Kata dia sambil pegang kepala. Katanya dia ngerasa ada yang lembek-lembek dirambut. Karena gelap, dia cium deh tuh tangannya. “Huwekk!! Bau tai!!” gak tau deh gimana tuh tai ada dikepalanya (ranbutnya emang kayak sarang burung sih). Kayaknya ada yang nimpuk pake tai deh. “Hahahahaha” Suara ketawa makin ramai. Yoyok makin diam.

Hahahahaha… Sepertinya, sampai sekarang pemilik tai itu masih menjadi misteri.

O ya, pengajian berjalan sukses. Orang-orang musuh tawuran itu juga ada yang datang. Rupanya telah terjadi kesepakatan damai. Good news.