Sabtu, 14 Mei 2011

Fakta Upil

Upil. Ada beberapa hal yang mungkin belum diketahui tentang benda ajaib yang satu ini. Anda bepikir manfaatnya hanya dijadikan camilan saat nonton tv atau kegiatan santai lainnya tanpa tahu apa kebenaran tentang upil itu.

Disini, saya bukan sebagai hakim, pengacara, polisi atau tukang gorengan, mencoba untuk mencari tanpa anjing pelacak, menggali tanpa cangkul dan mecukur tanpa Gillette vector plus kebenaran tentang upil yang lebih dalam, lebih dalam dan lebih dalam lagi tanpa hitungan ketiga atau tepuk tangan pemirsa.

Dari hasil penelitian saya selama ini, muncul beberapa fakta menarik (walaupun mungkin tidak menarik bagi anda) tentang upil. Data ini bisa berubah atau bertambah sewaktu-waktu. Proyek besar tentang fenomena upil ini masih berjalan dan akan terus berkembang sampai waktu yang masih belum ditentukan.

So, seperti kata Nicki Minaj dan Will.I.Am, Check it out!!

1. Upil hanya diproduksi di lubang hidung, tidak pernah dan tidak akan pernah di tempat lain.

2. Setiap hari hidung menghasilkan minimal 0,01 mg upil, kecuali hidung mayat.

3. Hidung akan tetap menghasilkan upil walau anda berada dalam ruangan ber-AC. Apalagi saat listrik mati.

4. Seberapa sering anda bernapas, berbanding lurus dengan seberapa banyak upil anda.

5. Bentuk dan ukuran hidung tidak mempengaruhi banyaknya produksi upil.

6. Semua orang pasti pernah ngupil walaupun dia bilang itu jorok.

7. Semua orang tahu rasa upil itu asin, meski dia mengaku tidak pernah memakannya.

8. a. 5 dari 10 orang, ngupil dengan jari kelingking tangan kiri.
b. 4 dari 10 orang, ngupil dengan jari telunjuk tangan kiri.
c. 1 orang sisanya, ngupil dengan jari kelingking kaki kiri.
d. Tak ada seorangpun yang pernah ngupil dengan jari telunjuk kaki kiri.

9. Ngupil sangat baik untuk kesehatan. Jika anda sehat, ngupillah. Maka anda tidak sakit.

10. a. Dokter spesialis paru-paru asal Austria, Prof. Dr. Friederich Bischinger menyarankan agar kita makan upil sendiri.
b. Hidung menyaring banyak bakteri. Apabila upil tiba di usus akan bekerja seperti obat.
c. Menurut beliau, upil dapat meningkatkan kekebalan tubuh.
d. Masih dalam penelitian, apakah rahasia pemain debus adalah makan upil.

11. Sifat upil sangat fleksibel. Dia akan menjadi crispy ketika anda berada di tempat yang kering.

12. Saat udara agak lembab, upil akan menjadi lembek. Disinilah manfaat lain muncul. Dia bisa dipakai sebagai lem.

13. Saat anda terserang flu, upil akan mencair. Tapi tetap dengan cita rasa yang sama.

14. Upil tak punya warna original, tergantung pada materi apa yang terkandung dalam udara sekitar.

15. Bagaimana dengan bau upil? Rupanya hidung kita memang tidak begitu peka.

16. Sejauh ini belum ada orang berjualan upil. Anda berminat jadi yang pertama?

Jumat, 15 April 2011

Kereta Api Kelas Ekonomi

Alat transportasi yang paling murah sehingga digemari. Bagaimana dengan fasilitasnya? Silakan coba dan rasakan sendiri sensasi dasyatnya!

Ini cerita saat pulang kerja. Seperti biasa, kami tak naik KRL, tapi naik (yang biasa disebut) kereta patas, kereta diesel kelas ekonomi, karena sesuai dengan jam pulang kerja. Kalau harus nunggu KRL (tentu yang kelas ekonomi juga), bisa-bisa sampai jenggot lumutan nunggunya. Bukankah lebih cepat itu lebih baik? Bukankah lebih baik kalau lebih cepat? Kalau lebih cepat bukannya lebih baik? Kalau.. Ah, sudahlah..

Dengan seorang teman yang selalu setia menyediakan tempat duduk untuk kami (ber-enam). Kita panggil saja dia dengan nama Mas J. Tidak etis kalau sebut namanya Mas Joko, itu kan melanggar privasi orang. Iya, kan? Ups! Hampir tiap hari kami selalu duduk di kursi yang sama, kursi no. 11 dan 12. Dia menjaganya dengan gagah berani. Berbekal samurai warisan ninja Hatori ditangan kiri dan diletakkan di atas paha, 1 buah teh gelas yang kadang tanpa sedotan di tangan kanan, kaki selonjoran ke deretan kursi depan, dan senjata yang paling ampuh, tentu saja adalah tidur. Karena tanggung jawab menjaga kursi, dia tidur smbil melotot. Nah, lo!! Benar saja! Keadaan sedemikian rupa itu membuat benteng pertahanan yang kokoh dan dengan sukses membuat kursi dalam keadaan aman, sentosa dan damai, sejahtera.




Saat saya dan saudara saya datang, dia selalu bilang “Kok lama banget sih! Udah capek nih! Saya udah ngeluarin jurus sampe level ke-98 buat jaga kursi ini!” Dan kita jawab “ Gak apa-apa mas, biar makin jago.” Dia makin manyun. “Ya, udah. Aku tidur dulu.” Lanjut dia. Dia memang selalu tidur saat di kereta, kecuali kalau ada cewek yang ikut nebeng di kursi kita. Kenapa dan ngapain dia gak tidur? Jangan tanya!!

Kami berangkat dari stasiun awal cuma berlima, kecuali kalo ada 2 orang cewek (baca : ibu-ibu) yang telah lebih dulu jadi member sebelum saya. Tapi mereka jarang ikut karena telat, tempat kerja yang agak jauh menjadi tersangka utama. 1 anggota lagi naik dari 2 stasiun setelah kereta berangkat. Tugas saya mengamankan kursinya. Orang boleh duduk di tempat kita kalau semua anggota sudah lengkap (belagu ya, kayak yang punya kereta aja!). Dan samurai ninja Hatori-pun resmi berpindah tangan. Kadang saya harus bertarung dengan bapak-bapak berkumis tebal atau ibu-ibu dengan lapisan lemak tebal (banget!!), kadang juga harus berhadapan dengan mas-mas berbedak tebal. Ampyuun, cyiiinn!!

Pernah suatu hari ada seorang cewek (baca : ibu-ibu) mau duduk di tempat kami, terpaksa kami harus menolaknya. Dengan muka kesal sekesal-kesalnya dia pergi ke kursi seberang dan kebetulan dapat tempat duduk disana. Begitu dia duduk, dia segera melancarkan serangan dengan kata-kata makian. Beuh!! Pengen banget narik samurai dari sarungnya! Makin lama omongan dia semakin gak enak. Kesabaran sayapun habis. Saat samurai mau saja cabut, tangan saya di hentikan oleh Mas J. Dengan menggenggam tangan saya, tenang matanya bicara “Jangan, bersabarlah. Jangan kau kotori samurai itu.” Karena si bos yang bicara, saya harus nurut dong. Seketika dengan mata yang saya paksain tenang. Mata saya bicara “Baiklah, kakak pertama. Aku akan menahan rasa sakit ini sendirian. Akan kubawa ke bantar gebang dan kukubur bersama pembalut bekas.” Dan pertumpahan darahpun batal. Damn!!

Kalau kejadian ini sekitar akhir Januari lalu. Saat formasi sudah lengkap kami bersedia berbagi kursi. Berharap ada cewek mau duduk di sebelah. Tapi kadang harapan hanyalah harapan. Kali ini seorang bapak dengan ukuran xxl menitipkan sebelah pantanya di sebelah saya. Nasib..

Setengah perjalanan, kereta berhenti agak lama di suatu stasiun. Ada kabar dari seorang petugas dari PT. KAI bahwa kereta didepan kami dilempari batu. Seorang cewek (baca : ibu-ibu) penjual darling (dadar guling) yang berpengalaman lebih dari 6 jam membenarkan kabar itu. Pelaku masih belum jelas. Mereka banyak sekali. Kaca jendela kereta banyak yang pecah, bahkan ada yang kepalanya terluka cukup parah.

Kabar itu membuat Mas J agak gelisah, dia menggeliat seperti baru bangun tidur (emang dia baru bangun tidur). Dan itu menular kepada kami. Keringat begitu deras mengalahkan air terjun Niagara.

Sesuai dengan kabar itu. Saat kami berada di tempat yang dimaksud, rentetan suara gaduh mulai terdengar. Kami diserang. Sudah seperti di medan perang saja. Mulai dari tembakan senapan, meriam sampai bom dari pesawat F-16 menyerbu sisi kiri gerbong. Kami semakin panik, Mas J terlihat begitu pucat, wajahnya tampak putih, mengalahkan wajah model iklan ponds dan selama sesaat membuat hati saya tergetar. Apakah ini cinta? Oh, no!

Suasana panik menikam seisi gerbong. Ibu penjual darling berteriak histeris seperti minta diperkosa. Apa-apaan dia? Penghuni deretan kursi sebelah saling berpelukan, salah satu pingsan setelah kebanyakan menghirup aroma keringat pasangannya. Ada juga yang langsung masuk kolong kursi. Di situ saya berdoa, semoga saja yang di duduk diatasnya ketakutan terus pipis terus ngasih minum itu orang. Anggota kursi 12 yang lain tak begitu panik, mereka hanya melindungi kepala dengan tas masing-masing. Sebagai seorang yang perkasa dan tidak punya hutang, saya santai saja. Melihat dari balik kaca, benar saja, banyak orang melempari gerbong dengan batu. Dari orang tua sampai anak-anak kompak berlomba-lomba menghancurkan kereta. Mereka tampak bersemangat. Apa mereka akan dapat hadiah kalau bisa menggulingkan kereta? Seperti paket jalan-jalan ke Bali, atau salaman sama patung pacoran, atau bahkan dapat tisu toilet bekas. Ah, siapa yang tahu!!

Beberapa kaca jendela pecah. Bahkan ada penumpang yang kepalanya berdarah. Tidak tahu juga, sih, kenapa. Mungkin karena kena satu atau beberapa lemparan batu itu. Mungkin juga karena orang yang duduk di sebelahnya adalah vampir yang menyamar, terus waktu mau gigit leher, dia meleset, kena deh itu kepala. Bocor, deh. Kalau yang di dalam gerbong aja ada yang kepalanya bocor, apa kabar yang di atas kereta? Mereka jadi korban peristiwa biadab ini. Kesian. Kesian. Kesian.

Medan laga telah berlalu, kereta berhenti di stasiun berikutnya, cukup lama, karena ada kabar bahwa di depan masih ada pelemparan batu juga. Tapi bukan di Mekah seperti pada saat Haji, loh, ya.

Dari balik kaca jendela yang bertahan, saya melihat beberapa orang turun dari atap kereta. Ada yang memegangi kepala, pundak, lutut, kaki, kepala, pundak, lutut, kaki, kepala, pundak, lutut, kaki (capek), perut dan bawahnya. Ada darah dimana-mana. Mengalir di pelipis, dagu, hingga paha (habis ngapain tuh?). Para manusia perkasa itu hanya mengumpat tak karuan, berjalan menuju peron. Ah, tantangan lain, seperti hari-hari sebelumnya dan esok nanti. Belagu ya?!

Setelah mununggu jam dinding yang tidak mau bicara seperti di lagu jaman dulu. Eh, emang di kereta ada jam dinding? Ah, gak jelas. Kami mulai membahas kejadian yang baru saja berlalu itu. Titik cerah mulai terlihat. Dari investigasi para ahli dadakan ini, muncul sebuah teori yang cukup kuat. Pelaku pelemparan adalah orang-orang yang tinggal di sekitar rel kereta api. Mereka melakukan pelemparan batu karena dendam. Mereka pikir itu adalah kereta yang menuju ke daerah jawa timur. Mereka kira kami adalah bonek, mungkin karena banyak orang yang naik di atap kereta. Padahal itu sangat tidak relevan. Memang beberapa hari sebelumnya terjadi bentrok antar suporter sepak bola. Salah satunya adalah bonek. Dan kejadian itu telah memakan korban. Kami berasumsi, itulah yang menyebabkan kemarahan warga. Ok, no comment.

Kami ber-enam turun di 2 stasiun yang berbeda, masing-masing 3 orang. Saya termasuk orang yang turun di stasiun lebih awal. Nah, salah satu orang yang turun bareng sama saya semakin gelisah saja. Kereta yang entah berapa jam lagi berangkatnya dan kabar pertempuran lain di depan sana menjadi penyebab utama gundah gulananya. Bulan makin tinggi, para bencong sudah memompa dada mereka dan bersiap bersaing dengan wanita sesungguhnya (jangan tersinggung). Pokoknya udah malam. Setelah sekian lama, dia mulai bersuara, agak bergetar. “Kita turun, yuk. Naik bus aja.” Semua diam. Lalu dia lanjutin soal malam udah larut, mau sampai rumah jam berapa dan alasan lain (selain takut di depan ada perang lagi). Karena solidaritas yang lebih tinggi dari gunung Himalaya, kami berdua menemaninya turun. Mas J dan 2 orang lain tak ikut turun karena alasan susahnya dapat kendaraan umum pada malam hari menuju tempat mereka. Ok, dengan uraian air mata, diiringi pembacaan puisi dan dituntaskan dengan do’a bersama, kami berpisah.

Perjalanan selanjutnya biasa saja. Selain tidak ada cewek (baca : semua orang) yang mau mendekat gara-gara kami bau keringat dan dekil. Mungkin kalau saja pakain kami robek, kami akan pulang dengan lebih kaya.

Dan, akhirnya sampai juga di rumah dengan utuh. Ekstra perjalanan 3 jam yang tanpa direncanakan sudah cukup melelahkan. Entah bagaimana dengan nasib 3 orang teman kami itu. Saat itu juga saya berdoa semoga mereka pulang dengan selamat dan berat badan Mas J turun karena 5 jam dalam kondisi tegang bermandi keringat. Amin!!

2 hari kemudian kami bertemu di kursi kereta yang sama. Kaca yang pecah sudah diganti. Disana Mas J dkk cerita kalau setelah stasiun itu tak terjadi pelemparan lagi. Perjalanan lancar dan bahkan dia sampai di stasiun lebih cepat dari saya. Huh! Kampretos!!

Saya tak pandai membuat pesan moral. Mohon ambil sendiri pesannya (pasti bakalan bingung, orang gak ada pesan apa-apa). Jadi saya hanya mau bilang, jangan buang sampah sembarangan, cuci tangan sebelum makan dan hormatlah kepada orang tua. Thanks!

Sabtu, 06 November 2010

Kriiing!!!

Bukan bermaksud apa-apa, hanya sekedar bercerita. Kejadian ini sekitar 1 bulan yang lalu. Disuatu sore, tiba-tiba ringtone hape bunyi. Ada panggilan masuk, nomor baru. Saya terima;

Saya : Assalamualaikum..
Dia : Hallo! Halloo!!
Saya : Assalamualaikum..
Dia : Halloooo!!! Hallloooowww!!!! Kemana sih nih orangnya?!!
Saya : Hallooooooo! (teriak kayak perawan mau diperkosa)
Dia : Busyet!! Kecil amat suaramu!!
Saya : (What?!) Iya, kan belum sunat!
Dia : Kok g salam sih? Assalamualaikum..
Saya : (Beuh!!) Wa’alaikumsalam.. Siapa ya?
Dia : Masak lupa sama suara saya?
Saya : (Gak perlu bertapa. Dari kata-kata itu, langsung kebayang muka abstrak. Ririn!!) Siapa ya? Nomornya g ada di phonebook.

Udah ketahuan yang nelpon. Cukup lama gak ada kabar dari dia.

Ririn : Beneran lupa? Tega nian kau..
Saya : Bukannya kamu yang lupa!! Katanya lebaran kemarin mau main kerumah, mau dikenalin istrinya sama orang rumah. Ditungguin juga! Sampai ayam habis, dipotongin tiap hari, jaga-jaga kalau mau datang! Mana udah disewain topeng monyet lagi, disewa dari subuh sampai jam 9 malam! Eh, malah gak keliatan ujung hidungnya!
Ririn : Hallo! Ngomong apaan barusan? Suaranya putus-putus.
Saya : GRRRRRR!!!!! (Muka memerah! Tanduk mau keluar!) Katanya kemarin mau main kerumah, sama istri?
Ririn : Rencananya sih emang gitu, tapi tahu sendiri kan, kemarin ada halangan.
Saya : Alasan!! Halangan apaan?
Ririn : Kan lek Wardi meninggal. Jadinya gak bisa kemana-mana. Aku kan bantuin juga buat ngurus semuanya.
Saya : Oh, iya..(Gak jadi marah)
Ririn : Tar deh, kalau balik lagi pasti sama istri main kerumah. Mau ngabarin dari kemarin-kemarin tapi gak ada duit buat beli pulsa.
Saya : Prett!
Ririn : Makanya ini pake hape teman, spesial buat tepon kamu!
Saya : Preeeettt!! Gombal!! (Lari kebelakang pohon pisang.) Punya dealer mobil kok gak bisa ngisi pulsa?!
Ririn : Hallo! Suaranya gak jelas!
Saya : (Selain operator Z, rumah saya dijauhi sinyal operator lain.) Iyeeee!!! Apa kabar keluargamu?
Ririn : Alhamdulillah sehat. Kamu sendiri gimana?
Saya : Alhamdulillah, sehat juga.
Ririn : Ada kabar apa dikampung?
Saya : Wah, kemarin ramai banget. Disini mau ada tsunami, tapi gak jadi.
Ririn : Hah? Serius? Tsunami dari mana? Bengawan solo?
Saya : Ya gak lah! Tsunami ya dari laut. Disiarin lewat radio sama telpon orang-orang. Berita langsung dari BPT kok, Badan Pengawasan Tsunami.
Ririn : Ada ya?
Saya : Ada lah. Orang-orang udah pada panik. Pada mau ngungsi.
Ririn : Ibu, Bapakku gimana ya dirumah?
Saya : Ya gak tahu, katanya sih bakal kena juga.
Ririn : Haduh-haduh, tar aku telpon orang rumah deh (Kayaknya beneran panik). Terus gimana?
Saya : Apanya?
Ririn : Hallo!!!
Saya : iye! Hallo!! (naik pohon jambu dibelakang rumah)
Ririn : Gimana tsunaminya!
Saya : Ya gak gimana-gimana. Kayaknya dia baik-baik. Jam segini paling lagi ngopi diteras rumah.
Ririn : Serius napa? Terus gimana tsunaminya??
Saya : Kan dari depan tadi sudah dibilangin kalau mau ada tsunami tapi gak jadi. Ye meneketehe tsnemenye gemene!
Ririn : (Diam…) Jadi… Gak ada tsunami?
Saya : Ya gak lah!! Tsunami dari mana? Dari got? (dari hongkong kejauhan)
Ririn : Ah, monyet lo!!
Saya : Hehehe.. Makanya, kalau ada orang ngomong itu diperhatiin!
Ririn : Iye!! (Sewot.)
Saya : Udah ngisi belum istrimu?
Ririn : Tiap malam aku isi. Kamu gak pengen?
Saya : (Heh!) Monyet lo!!
Ririn : Hehehe..
Saya : Jangan lupa tar telpon orang rumah. Tanyain, kemarin kena tsunami gak?
Ririn : Monyet lo!! Udah ya, mau mandi. Udah ditungguin istri..
Saya : Monyet lo!!!!!
Ririn : Hehehe.. Assalamuaikum..
Saya : Wa’alaikumsalam..

Panggilan terputus.

Ririn adalah salah satu teman baik saya. Dan tidak tahu kenapa, dia sangat mudah percaya dengan saya. Banyak hal telah terlewati. Rasa percaya tidak muncul begitu saja. Kepercayaan terbentuk perlahan melalui kata dan perbuatan dalam kebersamaan. Kepercayaan terjalin ketika saling mengenal, tahu karakter masing-masing dan bisa menempatkan diri.

Tetap semangat kawan-kawan!!

Semoga kita bisa menjadi teman yang bisa dipercaya.

Wuuuuhuuuuu!!!!!

Jumat, 29 Oktober 2010

Surat Untuk Bukune

Sekitar 2 bulan lalu saya nitip teman untuk dibelikan buku yang berjudul cado-cado kuadrat karya dokter riva. Setelah buku itu saya terima dan baca, ternyata ada beberapa halaman yang tidak tercetak. Sayapun panik, menjerit tiap malam diatas pohon tanpa menemukan jalan keluar. Kemudian saya mendapat wangsit dari seorang kakek berjenggot panjang putih, berambut putih, gondrong shaggy dan bertato angka 14045 dijidat (bohong).

Saya memutuskan untuk mengirim buku tersebut ke redaksi bukune. Tak ada kabar setelah 1 bulan. Saya mencoba untuk menanyakan melalui akun twitter redaksi bukune. Setelah mereka cek, ternyata mereka kesulitan dengan alamat rumah saya yang tak memiliki nomor rumah. Mereka menelpon saya untuk konfirmasi alamat.

Beberapa hari kemudian (yang dibilang) buku pengganti datang. Setelah saya buka-buka, ternyata buku tersebut sangat persis dengan buku yang saya kirim. Sayapun panik lagi, mau panjat pohon takut dibilang tidak kreatif. Kali ini saya putuskan untuk panjat rumah (sekalian benerin genting). Saya tanyakan lewat twitter lagi dan mereka meminta untuk dikirim lagi.

Agar kejadian tersebut tidak terulang, saya mengirimkan buku tersebut dengan surat, ini dia :



Hal : Pengembalian Buku Rusak


Kepada Yth,
Redaksi Bukune
Di Tempat

Dengan hormat,

Agar tidak terjadi kesalahpahaman atau bahkan bisa menjadi dusta diantara kita, maka pada pengiriman kedua ini saya bubuhkan keterangan mengenai halaman yang saya maksud. Mohon dalam buku cado-cado kuadrat ini dibuka halaman 54, 55, 58, 59, 62, 63,66, 67, 70, 71,74, 75, 78, 79, 82 dan 83. Pada halaman-halaman tersebut tidak ada tulisan apapun, bahkan nomor halaman.

Saya juga melihat halaman-halaman tersebut memakai luv, tak ada titikpun disana. Malahan sampai hampir terbakar dan mengeluarkan asap. Karena saya belum memikirkan permohonan kepada sesosok makhluk yang nanti kemungkinan besar akan muncul dari asap itu, saya buru-buru membuang luv tersebut.

Membaca buku ini serasa makan pizza. Terbagi menjadi beberapa potongan. Ada yang bisa dimakan 1 potongan penuh. Ada yang saat baru digigit sepotong, tiba-tiba hilang, naggung banget. Meninggalkan rasa penasaran yang dalam, sedalam sungai bengawan solo.

Sekian dulu. Terima kasih atas perhatiannya, anda perhatian sekali, saya jadi ge-er. Saya mohon maaf karena sudah merepotkan. Tidak bermaksud apa-apa, hanya ingin membuktikan kesungguhan tulisan yang ada pada halaman terakhir buku-buku terbitan Bukune. Mohon maaf juga karena kalimat-kalimatnya ngelantur dan kata-katanya berantakan. Sekali lagi, terima kasih banyak.

Keep hamasah!



Cepu, 28 Oktober 2010




Mustakim







Ya, semoga saja penggantian buku selanjutnya sesuai dan mereka tidak tersinggung dengan surat saya.

Senin, 11 Oktober 2010

THIS IS (NOT) MY WAR, THIS IS MY TEAR

Seperti biasa, malam itu kami berkumpul dirumah Budi. 4 anak muda kelas 1 SMA gagah perkasa, sakti mandraguna, tidak suka wanita (kecuali saya). Tidak ada hal penting, kami hanya ngobrol-ngobrol saja, kadang main catur, lompat galah dan kalau situasi mendukung, bakar rumah jadi hal terbaik. Kami biasa ngobrol tentang apa saja, mulai dari hal tidak penting seperti “apa warna celana dalam favorit kamu?” sampai hal serumit “politik”. Bahkan tentang hal yang paling rumit yaitu “Cinta” *sigh! Tapi disini otak saya masih terlalu cetek untuk bercerita tentang hal serumit itu.

Berawal dari panggilan seorang pengawal Raja Fir’aun didepan rumah Budi. Kamipun keluar. “yo, man! Pada ngapain dirumah? Ayo ikut kita-kita, pada mau nonton dangdutan nih!” Yup! Malam itu ada pagelaran musik dangdut, dalam rangka nikahan anak orang kaya dikampung sebelah. Pemuda kampung kami suka sekali nonton yang seprti itu, apalagi kalau yang nyanyi gadis muda belia dengan pakain seketatnya dan bergoyang seolah dibawah panggung itu ada minyak bumi. “Drill to the max!!”

Kamipun memutuskan untuk pergi, kecuali Yanto, dia tak ikut. Katanya dia harus menghadiri pertemuan dengan para calon dukun lainnya. Yak!! Pak Hakim telah memutuskan kami bertiga berangkat menuju medan laga tanpanya. bersenjatakan parang, pisau bedah, pensil 2B, gergaji mesin dan 2 lusin celana dalam, kami siap menaklukkan dunia perdangdutan. Walaupun sebenarnya saya sama sekali tidak tertarik dengan dangdut.

Singkat cerita, kami sudah berada dalam suasana riuh acara dangdut. Bermacam-macam manusia dengan berbagai rupa ada disana. Mulai dari yang duduk-duduk dibawah tenda dengan kantong berisi amplop kosong hingga karung pupuk 50 kg, sampai yang berjajar didepan panggung dengan formasi “V” (gak tahu mau ngapain). Dan kami tentu saja menemui teman-teman yang sudah lebih dulu sampai, kebetulan mereka sedang berkumpul dibelakang panggung yang tingginya 300 meter. Ngapain mereka disana? Ya, tentu saja ingin lihat persiapan artis-artisnya sebelum manggung, mulai memakai bedak hingga bertukar jenis kelamin. Karena 2 teman saya yang memang tidak normal, mereka malah ngajak berkeliling dulu sebelum panggung bergoyang. Dengan liur menetes tak karuan, saya diseret Budi dan Ririn menggunakan rantai kapal. Seketika kita sudah ada didepan tukang lontong sayur.

Tak lama kemudian penyanyi sudah bergoyang diatas panggung dengan suara merdunya. Tak lupa juga berteriak, mengajak ngobrol penonton agar suasana makin panas. Dengan 2 jempol diatas kepala lalu dua-dua dimasukkan mulut, Budi mulai bergoyang mendekati panggung, diikuti Ririn dan tentu saja saya dengan setengah hati. Ternyata tujuan mereka adalah bawah panggung! Mau ngapain? Oh, tidak!! (Oh, yes!!)

Saya hanya duduk dikursi tamu yang sudah mulai sepi, sambil menikmati lagu-lagu yang saya tidak tahu judulnya dengan diiringi tarian ala mas-mas super kesepian. Tiba-tiba suara teriakan mengaduh terdengar dari arah samping panggung. Penasaran, saya langsung menuju kesana. Disana saya melihat Budi, Ririn dan teman-teman lain bergerombol membentuk lingkaran. Sayapun mendekat. Rupanya ditengah gerombolan itu sedang meringkuk anak manusia. Wah, seperti yang sudah diperkirakan. Setiap ada acara seperti ini, pasti akan terjadi tragedi berdarah. Disana sedang tidur santai seorang lelaki bernapas alkohol sambil diinjak-injak salah seorang teman kami. Dengan brutal dia memukuli orang itu, yang dilanjutkan dengan menginjaknya. “Mampus lo!!” Mampus lo!!”. Diikuti teman yang lain. Banyak sekali, seolah-olah mereka sedang berlomba (sempat terpikir oleh saya untuk mengambil pom-pom dan menyamangati mereka, tapi tak jadi, tak ada pom-pom disana). “Udah pernah nginjek muka orang?” Tanya Budi. Saya menggeleng. “Cobain yuk!” lanjut dia. Dan Ririnpun menyanggupi “Yuk!!”. Budi yang berada paling dekatpun segara melayangkan kaki kearah punggung orang itu. “Mampus lo!!” beberapa kali. Dan dia udah keringatan gak karuan. Menyusul dari belakang, seseorang dengan pulukan tak karuan, membabi buta. Bisa dipastikan beberapa pukulannya juga mengenai kemaluan orang itu (semoga tak pecah). Ririnpun mendekat, tapi sebelum dia berhasil melaksanakan tugas mulianya, tangan dia sudah saya tarik sehingga tendangannya tidak sampai mengenai orang itu, lagian bacah ini kan pendek, paling juga kakinya gak bakalan nyampe. “Kok ditahan sih? Belum dapet nih!!” Dia nyolot. “Eh, gak kasian apa? Udah mampus kali tuh orang. Udah tinggalin aja”
Kata saya. Bukan apa-apa, gak kenal juga sih sama tuh orang. Mau mati juga bodo amat. Saya cuma kasihan aja sama Ririn nanti. Dia kan gak biasa bicara kasar. Gak lucu kan kalau nginjek-nginjek orang sambil bilang “Meninggal kamu!! Meninggal kamu!!” bukan pada tempatnya. Apa kata dunia nanti??

Orang itu sudah tergeletak tak berdaya saat teman-temannya memapahnya untuk pulang. Rupanya dia anak kampung sebelah yang memang suka bikin ribut.

Setelah kejadian yang tidak diinginkan itu, tuan rumah segera bertindak. Acara dangdut itu terpaksa harus diakhiri lebih dini. Katanya, takut kalau meluas dan menggangu mereka.

Teman-teman masih berkumpul disamping panggung. Mereka main tebak-tebakan, apakah si korban akan membalas? Dan apabila itu terjadi, apa yang akan mereka lakukan? Dengan persiapan seadanya, tanpa ganti celana dalam yang kami bawa tadi, kami memutuskan untuk pulang bersama. Para jagoan kampung berjalan didepan dan kami bertiga tertinggal 03:648 detik dibelakang.

Ya, benar saja. Diujung gang menuju jalan raya, sekelompok manusia bersenjata tajam sudah menunggu rombongan kami. Busyet!! 1 truk kepala. “Wah, kabar tadi cepat tersebar ya, itu orang-orang udah pada kumpul minta tanda tanganku.” Kata budi. Seketika Ririn mengeluarkan parang dan memotong leher Budi. Ngaco nih anak. Melihat itu, orang yang didepan rombongan langsung memberi insrtuksi “Ambil batu semua, kalo udah dekat langsung lempar!” Suasana gelap membuat kami tidak bisa membedakan batu. Dan sial itu menjadi milik saya. Ketika meraba-raba mencari batu dipinggir jalan malahan menemukan sesuatu yang lembek. Tai kuda!!! Beuh!!! Terlalu!! Sial!!!
Rombongan kami semakin dekat. Waduh, bakal beneran ribut antar kampung nih! Kami cukup panik ketika dalam gelap rombongan lawan berlari kearah kami. “Lempar!!!” teriakan itu terdengar. Tiba-tiba terdengar teriakan lain, merdu, mengaduh tak karuan “Aduh!! Aduh!! Aduh!!” Saya kenal suara itu, itu suara Usrok, dia juga banyak menyumbang pukulan pada orang calon impoten tadi. Mendengar suara itu, rombongan langsung berhamburan. Panik, dengan tangan berlumuran tai kuda, saya mengambil batu seadanya dan segera saya lemparkan kedepan secara asal. Lalu saya ikut lari masuk kampung menuju sela-sela rumah untuk sembunyi bersama teman-teman lain.

Saya berada dibelakang rumah salah satu warga dan kebetulan menemukan kamar mandi disana. “Wuaduh!! Wuaduh!!” Suara Usrok yang semakin keras dan membuat saya semakin panik. Saat saya mau cuci tangan saya dikagetkan dengan seorang yang lari sambil bilang “Mereka ngejar sampe sini! Ayo cepet sembunyi!!” Karena panik, sayapun jatuh terpeleset dikamar mandi itu. Senyum kecut dia bilang “Ngapain lo?” Saya bangun dengan kebasahan. Sial lagi! Dan dia ngacir entah kemana.

Ok, kebetulan saya tahu jalan pintas disana. Saya menemukan tempat aman. Sambil mengawasi jalan raya, saya mencari 2 teman saya yang entah masih hidup atau tidak. Tapi saya tidak terlau khawatir, Ririn sudah membawa gergaji listrik, semoga saja dia menemukan stop kontak untuk daya mesin itu. Dan untuk Budi, melihat suasana ramai seperti itu, paling dia jualan celana dalam sisa yang kami bawa tadi.

Keaadaan menjadi tenang. Saya melihat beberapa orang berkumpul didepan rumah, dipinggir jalan raya. Rupanya perang telah usai. Saya segera mendekati orang-orang itu. Terlihat bercak merah diseluruh jalan, mengubah warna aspal menjadi biru, seperti langit (???). Disana sedang kesakitan salah seorang jagoan kampung. Hidungnya bengkok, sepertinya tulang hidungnya patah. Dia sedang minta tolong temannya untuk menarik hidungnya dari arah berlawanan. Dan sedang tiduran, si Usrok. Dia terus memegang kepalanya, ada sedikit darah dipelipisnya. “Sial! Mereka bawa hansip, pentungannya nyasar nih dikepala.” Kata Usrok. “Apaan?? Tadi saya mau disambit pake pedang!” kata orang yang narikin hidung. “Mereka memng sengaja cari gara-gara. Mereka udah pada siap berantem mulai dari tadi pagi. Buktinya, waktu saya tonjok salah satu dari mereka, ada bekas sereal dipinggir bibirnya yang nempel ditangan saya. Itu menunjukkan kalau mereka sarapannya buru-buru buat ngasah tuh pedang.” Kata yang hidungnya bengkok. Teman yang lainpun berdatangan. Diikuti ibu-ibu dan warga sekitar.

Malam semakin larut. Kata salah satu dari mereka, 2 manusia tanpa rupa yang bareng saya tadi sudah pulang duluan. Sayapun langsung pulang. Saatnya beristirahat.

Seminggu kemudian, saya mendapat undangan untuk berkumpul di mushola. Ternyata seminggu lagi akan ada pengajian akbar disana. Para pemuda berkumpul untuk pembentukan panitia dan pembagian tugas lainnya. Setelah semua beres dan disetujui, saatnya makan suguhan. Pak kyai yang memimpin acara tersebut ingin mencairkan suasana. Diapun bertanya, “Minggu lalu katanya anak sini ada yang mati ya, gara-gara tawuran di acara dandutan?”. Iya, teman-temanpun mulai bercerita tentang kisahnya masing-masing. “Saya langsung pulang sama Ririn” Kata Budi. Tiba giliran Yoyok, orang yang ketemu saya sambil cengar-cengir dikamar mandi malam itu. “Nih, dia (nunjuk saya) nih, saking takutnya sampe jatuh-jatuh dikamar mandi orang, celana sama bajunya basah semua. Gak tahu deh tuh kenapa, ngakunya sih kepleset, tapi kayaknya dia ngompol deh!” ”Hahahaha” Yang lain pada ketawa. (ente kira air mancur, ngompol bisa sampe kena baju! Beuh!!). “Lha kamu ngapain Yok sampe rumah langsung keramas?” Celetuk seorang teman. Yoyok diam saja. “Emang kenapa?” Tanya teman yang lain. “Begini nih.” Seorang teman tadi melanjutkan. “Waktu gerombolan mereka menyerbu, dia kan langsung lempar batu. Tapi dia gak lari, katanya pengen nonjok orang. Begitu tahu ada yang bawa pedang, ciut deh dia, terus mau kabur. Pas dia mau lari ada yang nimpuk dia dari belakang, dia cuek, tetep lari aja katanya. Waktu sembunyi kan ketemu sama saya tuh, saya dibelakang dia kok cium bau gak gitu ya. “Aduh, habis kena timpuk!” Kata dia sambil pegang kepala. Katanya dia ngerasa ada yang lembek-lembek dirambut. Karena gelap, dia cium deh tuh tangannya. “Huwekk!! Bau tai!!” gak tau deh gimana tuh tai ada dikepalanya (ranbutnya emang kayak sarang burung sih). Kayaknya ada yang nimpuk pake tai deh. “Hahahahaha” Suara ketawa makin ramai. Yoyok makin diam.

Hahahahaha… Sepertinya, sampai sekarang pemilik tai itu masih menjadi misteri.

O ya, pengajian berjalan sukses. Orang-orang musuh tawuran itu juga ada yang datang. Rupanya telah terjadi kesepakatan damai. Good news.